Visualisasi Konsep Keimanan dan Pertanggungjawaban
كَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ كَانُوا أَشَدَّ مِنْكُمْ قُوَّةً وَأَكْثَرَ أَمْوَالًا وَأَوْلَادًا فَاسْتَمْتَعُوا بِخَلَاقِهِمْ فَلَمْ تَتَمَتَّعُوا بِخَلَاقِكُمْ كَمَا تَمَتَّعَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ بِخَلَاقِهِمْ وَخُضْتُمْ كَالَّذِي خَاضُوا ۚ أُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
(QS. At-Taubah: 69): "Sama halnya dengan orang-orang sebelum kamu; mereka itu lebih kuat darimu dalam kekuatan, dan lebih banyak harta serta anak-anaknya, lalu mereka menikmati bagian mereka, maka nikmatilah bagianmu sebagaimana orang-orang sebelummu menikmati bagian mereka, dan kamu telah turut bersenang-senang (dalam kemaksiatan) sebagaimana mereka bersenang-senang. Mereka itu lenyap amal-amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah orang-orang yang merugi."
Surat At-Taubah, yang sering disebut sebagai penutup periode kerasulan Nabi Muhammad SAW, banyak membahas tentang kejernihan hubungan antara kaum Mukminin dan mereka yang menunjukkan kemunafikan atau menolak kebenaran. Ayat 69 ini datang sebagai peringatan keras yang ditujukan kepada orang-orang munafik dan orang-orang yang terpengaruh oleh gaya hidup materialistis, baik di kalangan orang-orang yang telah mendahului mereka maupun di zaman turunnya ayat ini.
Ayat ini menekankan adanya kesamaan pola perilaku antara kelompok yang diperingatkan dengan umat-umat terdahulu yang ditimpa azab karena kekafiran dan kemaksiatan mereka. Kesamaan ini terletak pada fokus berlebihan terhadap kesenangan duniawi.
Allah SWT mengingatkan bahwa orang-orang terdahulu—seperti kaum 'Ad dan Tsamud, atau bahkan generasi awal yang menolak dakwah—memiliki keunggulan fisik dan materi yang melebihi generasi penerima dakwah saat itu. Mereka "lebih kuat darimu dalam kekuatan, dan lebih banyak harta serta anak-anaknya." Namun, kekuatan dan harta ini tidak menjadi jaminan keselamatan abadi.
Poin krusial dalam ayat ini adalah frasa "lalu mereka menikmati bagian mereka." Kenikmatan duniawi yang mereka raih hanyalah fasilitas sesaat atau bagian yang telah ditentukan untuk dinikmati dalam waktu terbatas di kehidupan dunia. Ketika ajal tiba, kenikmatan itu terputus.
Ayat ini kemudian menyoroti bahwa kelompok yang diperingatkan juga ikut menikmati bagian mereka (kesenangan dunia) dan bahkan "turut bersenang-senang (dalam kemaksiatan) sebagaimana mereka bersenang-senang." Ini menunjukkan bahwa godaan hawa nafsu dan ilusi kekayaan duniawi bersifat universal dan berulang dalam sejarah manusia.
Konsekuensi dari keterlenaan ini sangat fatal, sebagaimana ditegaskan pada bagian akhir ayat:
Dalam konteks modern, ayat ini menjadi cermin bagi masyarakat yang terlalu terobsesi dengan pencapaian material, status sosial, dan konsumsi berlebihan. Media sosial dan budaya populer seringkali mengagungkan "menikmati bagian" (gaya hidup hedonistik) tanpa mempertimbangkan pertanggungjawaban spiritual.
Pesan yang dibawa oleh At-Taubah 69 adalah pengingat bahwa ukuran kesuksesan seorang Muslim sejati tidak terletak pada akumulasi kekayaan atau kekuatan temporal, melainkan pada kualitas hubungan vertikal dengan Allah SWT dan dampak positif perbuatan di akhirat. Kemakmuran fisik yang tidak disertai dengan ketaatan spiritual adalah ilusi yang cepat berlalu dan berujung pada kerugian besar.
Oleh karena itu, ayat ini mengajak umat Islam untuk meninjau kembali prioritas hidup: Apakah kita sedang mengejar bagian yang akan lenyap, ataukah kita sedang membangun investasi abadi yang tidak akan pernah hangus oleh waktu?
Surat At-Taubah ayat 69 adalah sebuah peringatan historis yang universal. Ia menunjukkan bahwa sejarah berulang; umat yang kuat secara materi namun berpaling dari petunjuk Ilahi akan mengalami nasib yang sama dengan pendahulunya. Inti dari ayat ini adalah penekanan bahwa kenikmatan duniawi adalah sementara, dan segala upaya yang tidak didasari kebenaran akan sia-sia di hadapan kekekalan akhirat. Hanya mereka yang menjaga keikhlasan dan amal saleh yang terhindar dari predikat 'orang-orang yang merugi'.