Diskusi mengenai persilangan antara tenis putri (WTA) dan tenis putra (ATP) sering kali memuncak ketika membahas dominasi dan performa atlet legendaris. Tidak ada nama yang lebih sering diseret ke dalam perdebatan hipotetis mengenai "siapa yang bisa mengalahkan siapa" selain Serena Williams. Kemampuan Serena yang luar biasa, kekuatan servenya yang mematikan, dan dominasinya yang tak terbantahkan selama dua dekade di WTA menjadikannya tolok ukur kehebatan tenis, terlepas dari gendernya.
Ketika kita membandingkan hasil Serena dengan para pemain pria di ATP, perdebatan ini biasanya menjadi sangat panas. Para penggemar sering kali mempertanyakan apakah kekuatan fisik dan kecepatan pukulan para pemain ATP, yang secara statistik umumnya lebih tinggi karena perbedaan biologis rata-rata, akan mampu mengatasi teknik, mentalitas, dan pengalaman bertanding Serena. Ini bukan tentang meremehkan pencapaian Serena—yang mana itu monumental—tetapi tentang memahami perbedaan mendasar dalam dinamika permainan di level elit antara kedua tur.
Servis Serena adalah salah satu senjata paling ditakuti dalam sejarah olahraga. Kecepatan rata-rata servis pertamanya sering kali menyaingi atau bahkan melebihi banyak pemain ATP peringkat menengah. Namun, puncak kecepatan serve pemain ATP teratas, seperti John Isner atau Reilly Opelka, berada di level yang berbeda, seringkali melampaui 140 mph (sekitar 225 km/jam). Dalam pertandingan di lapangan keras, keunggulan kecepatan ini memberikan keuntungan signifikan bagi pemain pria ATP untuk mendapatkan poin gratis atau menekan lawan lebih awal.
Di sisi lain, akurasi dan penempatan serve Serena, dikombinasikan dengan kemampuannya untuk menghasilkan 'ace' dari berbagai sudut, adalah sebuah seni tersendiri. Banyak analis mengakui bahwa jika Serena berada dalam performa puncak, ia memiliki kemampuan untuk membuat pemain ATP peringkat bawah (di luar 100 besar) kesulitan karena variasi pukulan dan ketangguhannya dalam situasi genting.
Salah satu argumen terkuat untuk Serena adalah mentalitasnya yang tak tertandingi. Ia telah memenangkan 23 gelar Grand Slam tunggal, sebuah rekor di era Terbuka. Mentalitas ini, yang memungkinkannya bangkit dari ketertinggalan besar, adalah kualitas yang dihargai di semua tingkatan olahraga profesional, termasuk di antara para bintang ATP. Pemain ATP menghadapi tekanan yang berbeda—tekanan untuk mempertahankan status sebagai 'yang terbaik di dunia' secara berkelanjutan dalam format turnamen yang berbeda setiap minggu.
Pertandingan hipotetis melawan pemain ATP biasanya berfokus pada kemampuan Serena untuk menahan gempuran pukulan keras yang datang secara konstan. Pemain ATP cenderung menghasilkan kecepatan bola rata-rata yang lebih tinggi, memaksa pemain WTA untuk bertahan lebih dalam dan menggunakan lebih banyak tenaga untuk menghasilkan power yang sebanding. Dalam skenario lima set seperti di Grand Slam putra, faktor stamina dan kemampuan memulihkan diri dari tekanan fisik yang ekstrem juga menjadi pertimbangan utama.
Penting untuk diingat bahwa perbandingan langsung sering kali bersifat spekulatif dan tidak adil, karena kedua tur dikembangkan di bawah kondisi kompetitif yang berbeda. Tujuan utama perbandingan ini sering kali adalah untuk mengukur sejauh mana performa Serena telah mendorong batas-batas olahraga tenis wanita hingga ke titik yang bisa menantang standar permainan pria.
Serena Williams tidak hanya mendominasi WTA; ia mendefinisikan ulang kekuatan dan atletisisme dalam tenis wanita. Meskipun perbedaan fisik antara elit pria ATP dan wanita WTA tidak dapat diabaikan dalam konteks pertandingan langsung, warisan Serena sebagai salah satu atlet terhebat sepanjang masa—terlepas dari tur mana ia bermain—tetap tidak terbantahkan. Ia telah memaksa dunia tenis, baik ATP maupun WTA, untuk mengakui standar baru dalam hal ambisi, kekuatan, dan dominasi di lapangan. Perdebatan ini, meskipun tidak akan pernah terselesaikan, terus berfungsi sebagai cara menarik untuk menghargai kedalaman dan kompleksitas olahraga tenis secara keseluruhan.