Salah satu ayat kunci dalam pembentukan paradigma ketaatan seorang Muslim adalah Surat At-Taubah ayat 31. Ayat ini sering menjadi titik tolak diskusi mengenai batas antara kepatuhan kepada otoritas manusia (seperti pemimpin agama atau pemerintah) dan ketaatan mutlak hanya kepada Allah SWT.
Ayat ini diturunkan dalam konteks penolakan Bani Israel terhadap wahyu Allah dan kecenderungan mereka untuk mengikuti otoritas keagamaan mereka (ahbar/ulama dan ruhban/pendeta) tanpa filter kebenaran ilahi. Ketika para ulama dan pendeta ini menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, umat mengikutinya seolah-olah mereka adalah pembuat hukum yang setara dengan Allah.
Inti dari teguran Allah dalam ayat ini adalah penegasan kembali konsep tauhid—keseimbangan tunggal dalam ibadah. Ketaatan kepada ulama, pemimpin, atau figur otoritas lainnya harus selalu berada di bawah payung ketaatan kepada syariat Allah. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan pengangkatan tuhan selain Allah, yang dalam konteks ini diartikan sebagai pemberian otoritas penetapan hukum (tasryi') yang mutlak kepada manusia.
Memahami QS At-Taubah ayat 31 memberikan batasan yang sangat jelas bagi umat Islam dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan beragama. Ketaatan yang disyariatkan terbagi menjadi dua kategori utama:
Para ulama tafsir sering menjelaskan bahwa menjadikan ulama sebagai "tuhan" tidak selalu berarti menyembah mereka secara ritualistik, tetapi lebih kepada menerima hukum dan fatwa mereka sebagai kebenaran final, bahkan ketika fatwa tersebut jelas bertentangan dengan nash Al-Qur'an atau As-Sunnah. Fenomena ini adalah bentuk penyelewengan tauhid yang diperingatkan dalam ayat ini.
Ayat ini berfungsi sebagai pengingat abadi bahwa otoritas legislatif tertinggi di alam semesta hanya dimiliki oleh Sang Pencipta. Setiap sistem hukum, peraturan, atau dogma keagamaan yang dibuat manusia harus tunduk dan disaring melalui prinsip-prinsip ilahi yang termaktub dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mengabaikan prinsip ini adalah mengulangi kesalahan yang dilakukan oleh Bani Israel terdahulu, yaitu menyekutukan Allah dalam hak penetapan hukum.
Dalam era modern, ayat ini memiliki relevansi yang kuat terhadap isu otoritas dan informasi. Dengan mudahnya informasi tersebar, umat dituntut untuk memiliki pemahaman dasar agama agar tidak mudah mengikuti setiap klaim dari figur tertentu tanpa verifikasi. Kepatuhan tanpa kritis—terutama dalam ranah akidah dan hukum agama—dapat menjerumuskan seseorang ke dalam lingkaran yang ditegur oleh At-Taubah ayat 31. Ketegasan bahwa hanya Allah yang berhak disembah (termasuk dalam konteks ketaatan hukum) adalah benteng pelindung seorang Muslim dari kesesatan yang tersembunyi.