Pertalite, bahan bakar minyak (BBM) dengan angka oktan 90, telah menjadi primadona bagi mayoritas pemilik kendaraan roda dua dan beberapa mobil penumpang di Indonesia. Namun, harga yang kita lihat di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) adalah harga yang telah disubsidi oleh pemerintah. Untuk memahami sepenuhnya kebijakan fiskal energi dan dampaknya terhadap keuangan negara, penting untuk menelusuri kembali berapa harga Pertalite sebelum subsidi diberlakukan.
Harga dasar BBM dihitung berdasarkan harga minyak mentah dunia (ICP - Indonesian Crude Price), kurs Rupiah terhadap Dolar AS, serta biaya distribusi dan pengolahan. Ketika harga global melonjak, selisih antara harga keekonomian (harga tanpa subsidi) dan harga jual eceran di masyarakat menjadi sangat besar. Besarnya selisih inilah yang menuntut alokasi dana APBN yang signifikan untuk menutupinya.
Ilustrasi Perbedaan Harga Dasar dan Harga Jual
Menentukan harga Pertalite sebelum subsidi bukanlah proses yang statis. Harga ini bergantung pada dua variabel makro utama: harga ICP dan nilai tukar Rupiah. Ketika Indonesia mengalami periode harga minyak dunia yang tinggi, misalnya di atas $100 per barel, harga dasar Pertalite bisa melonjak drastis.
Sebagai contoh historis, pada periode tertentu sebelum penyesuaian harga besar-besaran, ketika ICP sedang tinggi, harga keekonomian Pertalite diperkirakan telah mencapai level yang jauh melampaui harga jual yang ditetapkan pemerintah. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan Harga Jual Eceran (HJE) BBM bersubsidi, yang biasanya dilakukan setelah melalui perhitungan cermat oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Keuangan.
Jika subsidi tidak diterapkan, masyarakat akan merasakan langsung dampak inflasi yang signifikan, karena biaya transportasi dan logistik akan ikut terpengaruh. Oleh karena itu, subsidi BBM berfungsi sebagai bantalan sosial dan stabilitas ekonomi jangka pendek. Namun, beban fiskal yang ditanggung negara juga menjadi sangat berat, mempengaruhi alokasi anggaran untuk sektor lain seperti infrastruktur atau kesehatan.
Ketika pemerintah harus menalangi selisih harga, dana tersebut diambil dari APBN. Jika tren kenaikan harga minyak dunia terus berlanjut, dan pemerintah memutuskan untuk mempertahankan harga jual Pertalite yang murah demi menjaga daya beli masyarakat, maka potensi kebocoran anggaran semakin besar. Analis ekonomi sering menekankan bahwa subsidi harus tepat sasaran.
Mengetahui harga Pertalite sebelum subsidi memberikan perspektif jujur mengenai biaya riil energi yang dikonsumsi oleh masyarakat. Harga riil inilah yang menjadi acuan dalam perhitungan kebutuhan dana kompensasi energi. Tanpa subsidi, Pertalite bisa saja memiliki harga yang mendekati atau bahkan lebih mahal dibandingkan beberapa jenis BBM non-subsidi yang memiliki kualitas lebih baik.
Struktur biaya ini juga mencakup biaya operasional Pertamina sebagai BUMN penyalur. Biaya ini meliputi biaya penyimpanan, pengangkutan (yang dipengaruhi oleh jarak dari kilang ke terminal BBM), dan margin keuntungan yang wajar. Semua komponen ini dijumlahkan untuk menghasilkan harga jual keekonomian sebelum dikurangi jaring pengaman sosial berupa subsidi.
Perdebatan mengenai keberlanjutan subsidi energi selalu muncul, terutama saat terjadi tekanan fiskal. Pemerintah terus mencari formula yang paling adil: bagaimana memastikan BBM tetap terjangkau bagi masyarakat miskin tanpa membebani kas negara secara berlebihan. Salah satu solusi yang sering diwacanakan adalah melakukan pengetatan penyaluran, memastikan bahwa hanya kelompok yang berhak yang dapat menikmati harga yang disubsidi.
Memahami harga Pertalite sebelum subsidi adalah langkah awal untuk mengapresiasi upaya pemerintah dalam menjaga stabilitas harga di pasar konsumen. Ini adalah pertarungan antara menjaga daya beli masyarakat dan menjaga kesehatan fiskal negara di tengah volatilitas pasar energi global. Kebijakan harga BBM di masa depan kemungkinan besar akan terus menjadi topik hangat, seiring dengan upaya transisi energi menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.