Komunikasi adalah hak asasi manusia, dan bagi komunitas Tuli serta mereka yang memiliki gangguan pendengaran, bahasa isyarat adalah jembatan utama. Di antara berbagai isyarat penting yang harus diketahui, isyarat untuk konfirmasi atau persetujuan—yaitu bahasa isyarat iya—merupakan fondasi dalam setiap interaksi. Memahami cara melakukan isyarat ini dengan benar tidak hanya menunjukkan rasa hormat, tetapi juga memastikan pesan yang disampaikan diterima dengan jelas dan tanpa ambiguitas.
Meskipun banyak negara memiliki variasi bahasa isyaratnya sendiri (seperti BISINDO di Indonesia, BSL di Inggris, atau ASL di Amerika), konsep dasar untuk mengatakan "iya" sering kali memiliki kesamaan dalam gestur universal, meskipun detail pelaksanaannya mungkin berbeda. Isyarat "iya" pada dasarnya adalah penegasan positif.
Dalam banyak sistem isyarat, isyarat untuk "iya" seringkali menggabungkan elemen gerakan kepala mengangguk (seperti yang dilakukan saat berbicara) atau menggunakan konfigurasi tangan tertentu yang merepresentasikan persetujuan. Sebagai contoh, dalam konteks Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) atau sistem yang mirip, isyarat persetujuan bisa berupa gerakan tangan yang bergerak maju atau isyarat yang mirip dengan tangan mengepal dengan ibu jari menonjol, sambil melakukan gerakan mengangguk untuk penekanan.
Namun, penting untuk diingat bahwa konteks sangat memainkan peran krusial. Kadang-kadang, isyarat "iya" tidak selalu berupa isyarat tangan yang spesifik. Ekspresi wajah—khususnya mata yang terbuka lebar atau senyum kecil—adalah bagian tak terpisahkan dari penegasan positif. Di dunia Tuli, isyarat non-manual (ekspresi wajah dan gerakan tubuh) membawa bobot gramatikal dan emosional yang sama pentingnya dengan gerakan tangan itu sendiri. Jika isyarat tangan dilakukan tanpa ekspresi wajah yang mendukung, pesan "iya" tersebut bisa jadi terlihat datar atau bahkan diartikan sebagai kebingungan.
Mengapa kita perlu fokus pada satu kata seperti "iya"? Dalam percakapan, mengangguk atau mengatakan "ya" berfungsi sebagai penanda bahwa kita mengikuti alur pembicaraan, memahami apa yang disampaikan, dan memberikan izin atau persetujuan. Tanpa penanda ini, lawan bicara—baik yang mendengar maupun yang tuli—akan sulit menentukan apakah komunikasi berjalan efektif.
Bagi mereka yang sedang belajar bahasa isyarat, menguasai "iya" dan lawannya, "tidak," adalah langkah pertama menuju kemampuan untuk berinteraksi secara sosial. Jika Anda berkomunikasi dengan seseorang yang menggunakan bahasa isyarat, respons positif yang cepat melalui isyarat yang tepat akan membangun kepercayaan dan memperlancar dialog. Ini adalah tanda kesadaran dan keterlibatan aktif dalam percakapan.
Seperti bahasa lisan, bahasa isyarat tidak monolitik. Isyarat untuk "iya" di Jakarta mungkin sedikit berbeda dengan di Makassar, meskipun tujuannya tetap sama: konfirmasi. Oleh karena itu, ketika berinteraksi dengan komunitas Tuli dari daerah yang berbeda, kesabaran dan kesediaan untuk mengamati dan meniru gerakan mereka adalah kunci. Jika Anda tidak yakin, isyarat universal yang paling mudah dikenali—gerakan mengangguk sambil menyertai isyarat tangan yang terbuka atau mengepal—seringkali dapat diterima, asalkan disertai ekspresi wajah yang ramah dan jelas.
Intinya, bahasa isyarat iya adalah lebih dari sekadar gerakan tangan; ini adalah pintu gerbang menuju partisipasi penuh dalam komunitas komunikasi. Dengan mempelajari dan mempraktikkannya, kita memperluas lingkaran inklusivitas dan memastikan bahwa setiap orang memiliki suara—atau dalam kasus ini, setiap orang memiliki isyarat—untuk mengatakan, "Saya setuju."