Pertanyaan mengenai bahan bakar terbaik di dunia seringkali memicu perdebatan sengit yang melibatkan ilmu pengetahuan, ekonomi, dan geopolitik. Tidak ada jawaban tunggal yang mutlak benar, karena definisi "terbaik" sangat bergantung pada konteks penggunaannya—apakah itu untuk efisiensi energi termal, emisi karbon terendah, ketersediaan, atau biaya produksi. Secara historis, minyak bumi telah mendominasi, namun paradigma kini bergeser menuju solusi yang lebih berkelanjutan.
Dahulu, metrik utama dalam menentukan kualitas bahan bakar adalah kepadatan energi (energi per satuan massa atau volume). Dalam hal ini, bahan bakar fosil cair seperti bensin dan diesel unggul karena mampu menyimpan energi dalam jumlah besar dalam ruang yang relatif kecil. Hal ini sangat penting untuk aplikasi transportasi jarak jauh, seperti penerbangan dan pelayaran, di mana berat dan volume sangat diperhitungkan.
Namun, abad ke-21 menuntut kriteria baru: dampak lingkungan. Bahan bakar yang menghasilkan gas rumah kaca paling sedikit, sulfur dioksida, dan partikulat padat mulai dianggap superior. Kriteria ini menempatkan bahan bakar non-karbon, seperti hidrogen dan listrik yang dihasilkan dari sumber terbarukan, di garis depan persaingan. Ini mengubah peta persaingan, di mana bahan bakar yang secara historis "terbaik" kini dianggap memiliki kelemahan signifikan.
Hidrogen sering disebut sebagai "bahan bakar masa depan". Ketika dibakar atau digunakan dalam sel bahan bakar, produk sampingannya hanyalah air. Dalam teori, ini adalah bahan bakar terbaik di dunia dari perspektif emisi nol karbon saat digunakan. Tantangannya terletak pada produksi dan penyimpanannya. Jika diproduksi menggunakan energi terbarukan (hidrogen hijau), potensinya sangat besar. Namun, infrastruktur penyimpanan bertekanan tinggi atau kriogenik masih mahal dan belum matang secara luas.
Bahan bakar nabati (biofuel) generasi baru, yang berasal dari alga, limbah pertanian, atau biomassa non-pangan, menawarkan solusi yang lebih netral karbon dibandingkan fosil. Mereka menggunakan karbon dioksida yang sama yang diserap tanaman selama pertumbuhannya. Meskipun ketersediaannya terbatas dibandingkan minyak bumi, biofuel ini menawarkan kepadatan energi yang lebih dekat ke bahan bakar konvensional, menjadikannya pilihan menarik untuk sektor yang sulit didekarbonisasi seperti penerbangan.
Meskipun listrik bukan bahan bakar dalam pengertian tradisional (karena merupakan pembawa energi), kendaraan listrik telah mengubah lanskap energi. Dalam konteks perkotaan dan transportasi ringan, listrik dari jaringan yang semakin hijau dapat dianggap sebagai bahan bakar terbaik di dunia karena efisiensi motor listrik yang tinggi (seringkali di atas 90%) dibandingkan mesin pembakaran internal (sekitar 20-40%). Efisiensi energi total dari sumur ke roda jauh lebih baik untuk listrik.
Terlepas dari masalah lingkungan, minyak mentah dan gas alam cair (LNG) tetap menjadi bahan bakar terbaik di dunia untuk aplikasi spesifik saat ini karena tiga faktor utama: infrastruktur yang sangat matang, kepadatan energi yang tinggi, dan biaya ekstraksi yang relatif kompetitif (meskipun fluktuatif). Mereka menyediakan energi yang stabil dan mudah diangkut yang mendukung hampir seluruh rantai pasokan global saat ini. Gas alam, khususnya LNG, sering dipandang sebagai "bahan bakar transisi" karena emisi CO2-nya lebih rendah daripada batu bara atau minyak ketika digunakan untuk pembangkit listrik.
Pada akhirnya, pencarian bahan bakar terbaik di dunia mengarah pada konsep diversifikasi. Untuk sektor penerbangan yang membutuhkan densitas energi tinggi, biofuel lanjutan atau hidrogen mungkin menjadi jawabannya. Untuk transportasi darat ringan, listrik berbasis baterai menunjukkan dominasi yang jelas. Sementara itu, untuk pemanas rumah tangga dan industri berat yang membutuhkan daya besar, gas alam atau hidrogen hijau mungkin menjadi solusi jangka menengah. Bahan bakar terbaik bukanlah satu jenis zat, melainkan portofolio solusi yang paling sesuai dengan kebutuhan spesifik sambil meminimalkan jejak ekologisnya.