Pengantar Surah At-Taubah
Surah At-Taubah (Surah ke-9 dalam Al-Qur'an) dikenal sebagai surah Madaniyyah yang turun setelah peristiwa penting dalam sejarah Islam, terutama berkaitan dengan ekspedisi Tabuk dan pencabutan perjanjian dengan kaum musyrikin. Ayat-ayatnya mengandung perintah yang tegas, peringatan keras, sekaligus penegasan prioritas hubungan seorang mukmin.
Di tengah serangkaian penegasan prinsip keimanan ini, terdapat satu ayat yang sering kali dijadikan tolok ukur utama dalam menilai kualitas iman seseorang, yaitu Ayat ke-24. Ayat ini secara gamblang menelanjangi prioritas-prioritas duniawi yang seringkali mengalahkan prioritas akhirat dalam hati banyak manusia.
Teks Arab dan Terjemahan At-Taubah Ayat 24
Analisis Mendalam: Daftar Prioritas yang Menguji Iman
Ayat ini adalah sebuah tantangan langsung dari Allah SWT melalui lisan Nabi Muhammad SAW kepada umatnya. Ayat ini tidak menafikan pentingnya ikatan duniawi—bahkan mengakui betapa kuatnya ikatan tersebut—namun ia menempatkan sebuah garis batas yang tegas: mana yang harus didahulukan.
Daftar yang disebutkan meliputi tujuh kategori cinta duniawi, yang mencakup aspek biologis, emosional, sosial, dan material:
- Bapak-bapakmu (Orang tua): Ikatan darah dan jasa pengasuhan.
- Anak-anakmu: Kebanggaan dan harapan masa depan.
- Saudara-saudaramu: Solidaritas keluarga besar.
- Isteri-isterimu: Keintiman dan ketenangan hidup berumah tangga.
- Kaum keluargamu (Keluarga besar/Suku): Rasa memiliki dan identitas kelompok.
- Harta kekayaan yang kamu peroleh: Hasil jerih payah dan keamanan finansial.
- Perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya: Kekhawatiran ekonomi jangka pendek.
- Rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai: Kenyamanan, stabilitas, dan status sosial.
Ujian Sejati: Jihad di Jalan Allah
Setelah menyebutkan semua hal yang dicintai manusia secara naluriah, Allah menyandingkannya dengan satu unsur tunggal: "dan berjihad di jalan-Nya." Jihad di sini merujuk pada segala bentuk usaha sungguh-sungguh (perjuangan fisik, harta, lisan, dan hati) demi meninggikan kalimat Allah dan membela agama-Nya.
Ayat ini menguji validitas keimanan seseorang. Apakah ketika tuntutan agama (berjihad) bertabrakan dengan kenyamanan keluarga atau keuntungan materi, seorang mukmin akan tetap teguh pada kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya? Jika kecintaan terhadap dunia melebihi kecintaan pada ketaatan ilahi, maka menurut ayat ini, status keimanan tersebut diragukan.
Konsekuensi dari Keterikatan Berlebihan
Ancaman dalam ayat ini sangat jelas dan tidak ambigu: "Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Menunggu keputusan Allah di sini berarti menunggu hukuman atau konsekuensi dari pilihan yang salah. Hukuman bisa berupa kegagalan di dunia, hilangnya keberkahan, atau yang paling mengerikan, azab di akhirat.
Ayat ini ditutup dengan sebuah penegasan fundamental: "Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." Kata fasik secara harfiah berarti orang yang keluar dari ketaatan atau kepatuhan. Orang yang lebih memilih kesenangan dunia yang disebutkan di atas daripada ketaatan kepada Allah, sejatinya telah keluar dari jalur petunjuk-Nya. Mereka hidup dalam kesenangan sesaat namun terhalang dari kebahagiaan hakiki yang datang dari petunjuk ilahi.
Relevansi Kontemporer
Di era modern, "berjihad di jalan Allah" mungkin tidak selalu berarti peperangan fisik. Ia bisa berarti perjuangan mempertahankan prinsip Islam di tempat kerja, mengorbankan waktu istirahat untuk menuntut ilmu syar'i, atau menolak tawaran pekerjaan bergengsi yang menuntut kompromi terhadap nilai-nilai akidah.
Setiap muslim perlu secara periodik mengevaluasi hatinya: Apakah kecintaan saya pada liburan mewah, kenaikan jabatan, atau kenyamanan rumah lebih besar daripada keinginan untuk tunduk sepenuhnya kepada kehendak Allah? At-Taubah 24 adalah pengingat abadi bahwa kebahagiaan sejati dan petunjuk ilahi hanya dapat diraih ketika Allah dan Rasul-Nya berada di posisi tertinggi dalam hierarki prioritas hati seorang hamba.